Resident Evil:After Life – Resensi Film
Menyaksikan
film ini memang sebuah agenda saya. Selain karena menyukai game-nya,
trilogi film sebelumnya pun ciamik. Apalagi mendapatkan tiketnya agak
‘butuh perjuangan’ karena rupanya banyak peminatnya. Namun jujur saja,
saya agak kecewa saat menyaksikannya. Karena sang sutradara membawa film
ini seakan menjadi bayangan dari trilogi “The Matrix”. Kenapa?
Yaaah, agak-agak spoiler alert! seperti biasanya, tapi sudahlah… Rasa kecewa yang agak tadi karena eksploitasi slow motion
yang menurut saya berlebihan. Apalagi ada beragam gerakan dari Alice
dan Claire yang sangat mirip dengan Neo. Sebutlah seperti menembak
dengan dua tangan sambil berlari atau berkelahi sambil menapaki dinding.
Toh, bagi penyuka film action
yang menampilkan banyak adegan tembak-menembak dan ledakan, film ini
akan terasa memanjakan. Walau saya juga kecewa dengan kurangnya nuansa
horror di sekuel keempat ini. Padahal, harusnya film ini ‘horror
bangeet’.
Dibuka dengan adegan para sniper di
Tokyo berkomunikasi dengan bahasa Jepang, sedang berupaya menembaki
‘undead’ atau zombie. Wabah telah menyebar ke seluruh dunia, dan hampir
tak ada lagi manusia yang hidup. Para sniper itu pun kemudian gugur
diserang. Dan seperti biasa, jauh di bawah tanah, terdapat markas
Umbrella Corporation. Bagi yang belum tahu, ini adalah perusahaan
pembuat T-virus yang menyebabkan mutasi manusia menjadi zombie. Serangan
itu ternyata terus berlanjut hingga menembus pertahanan markas
Umbrella.
Akan tetapi, kita akan terkejut ternyata
yang menyerang bukan zombie, melainkan Alice. Ini adalah mutan hasil
proyek Umbrella juga, yang tujuan awalnya adalah membuat prajurit super.
Dalam sekuel ketiga, Resident Evil: Extinction, Alice
diberitakan berhasil menguasai para kembarannya yang memang sengaja
dibuat oleh Umbrella. Dan kini Alice-Alice itu menyerbu markas Umbrella
di tiap kota, mencoba membalaskan dendam untuk manusia. Namun saat
berhadapan dengan Ketua Wesker sebagai pimpinan Umbrella, Alice-Alice
itu kalah, bahkan Alice asli pun hampir kalah saat diberi suntikan serum
penetral T-Virus.
Setelah berhasil lolos dari pesawat yang
ditumpangi Ketua Wesker yang jatuh, Alice melanjutkan perjalanan ke
Arcadia-Alaska. Di sana, ia mencoba mencari teman-temannya yaitu
rombongan yang dipimpin oleh Claire Redfield. Di sekuel sebelumnya,
mereka mendengar transmisi radio yang dipancarkan, diduga oleh rombongan
yang selamat dan menjanjikan perlindungan.
Ternyata, tidak ada siapa-siapa di
Arcadia-Alaska. Yang ada hanya berbagai pesawat dan helikopter
teronggok, bekas digunakan manusia-manusia yang selamat untuk menuju ke
sana. Dan itu menjadi misteri hingga Alice bertemu Claire yang hilang
ingatan. Ternyata, Claire dipasangi semacam robot pengendali pikiran
yang menyuntikkan zat pembuat memori hilang. Tak heran Claire malah
berusaha menyerang Alice. Setelah berhasil melumpuhkan Claire dan
melepas robot itu, berdua mereka terbang ke pesisir Barat A.S., terutama
menuju ke Los Angeles. Di sanalah petualangan di sisa film ini
berlangsung.
Di sebuah kompleks bangunan penjara keamanan maksimum yang dibangun bak benteng besar (citadel),
bertahanlah sekelompok manusia. Dari sanalah Alice tahu bahwa Arcadia
yang dimaksud oleh transmisi radio yang diulang-ulang tersebut bukan di
Alaska. Kelompok itu kemudian berjuang melewati ribuan zombie di sekitar
mereka untuk dapat sampai ke Arcadia. Dan setelah mereka berhasil
sampai di Arcadia pun, kejutan demi kejutan terus berlangsung. Untuk
kemudian terputus menunggu sekuel berikutnya ….
Secara umum, film ini layak tonton.
Sebuah tontonan aksi yang layak ditunggu setelah selama beberapa waktu
bioskop-bioskop kita sepi film action Hollywood yang digarap apik macam
ini. Saya malah merekomendasikan bagi penyuka film action penuh adegan
laga dan tembak-menembak dan tentunya penyuka game-nya untuk tidak
melewatkan film ini. Milla Jovovich makin keren saja penampilannya. Dan…
jangan beranjak dulu setelah credit title tayang, karena masih ada sisa adegan untuk bekal menuju sekuel berikutnya…

















